Khamis, 1 Julai 2010

Hak Isteri Yang Wajib di Penuhi Suami: MEMBERINYA MAKAN

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ketika jinjang pernikahan sudah dilalui, maka suami dan isteri haruslah saling memahami kewajipan-kewajipan dan hak-haknya agar tercapai keseimbangan dan keserasian di dalam membina rumah tangga yang harmoni.

Di antara kewajipan-kewajipan dan hak-hak tersebut adalah seperti yang tersurat di dalam sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dari Shahabat Mu’awiyah bin Haidah bin Mu’awiyah al-Qusyairi radhiyallaahu ‘anhu bahawasanya dia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Rasulullah, apa hak seorang isteri yang harus dipenuhi oleh suaminya?” Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

1. Engkau memberinya makan apabila engkau makan,
2. Engkau memberinya pakaian apabila engkau berpakaian,
3. Janganlah engkau memukul wajahnya,
4. Janganlah engkau menjelek-jelekkannya, dan
5. Janganlah engkau meninggalkannya melainkan di dalam rumah (yakni jangan berpisah tempat tidur melainkan di dalam rumah).” [1]

(1). ENGKAU MEMBERINYA MAKAN APABILA ENGKAU MAKAN
Memberi makan merupakan istilah lain daripada memberi nafkah. Memberi nafkah ini telah diwajibkan ketika si suami akan melaksanakan ‘aqad nikah, iaitu di dalam bentuk mahar, seperti yang tersurat di dalam Al-Qur’an, surah al-Baqarah ayat 233.

Allah berfirman

“Ertinya : …Dan kewajipan ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.” (Al-Baqarah : 233)

Bahkan ketika terjadi perceraian, suami masih berkewajipan memberikan nafkah kepada isterinya selama masih dalam masa ‘iddahnya dan nafkah untuk mengurus anak-anaknya. Barangsiapa yang hidupnya tidak mewah, dia wajib memberikan nafkah menurut kemampuannya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Ertinya : …Dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah daripada harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (Ath-Thalaq : 7).

Ayat yang mulia ini menunjukkan kewajipan seseorang untuk memberikan nafkah, meskipun dia dalam keadaan serba kekurangan, dan sudah pasti hal ini disesuaikan dengan kadar rezeki yang telah Allah berikan kepada dirinya.

Berdasarkan ayat ini pula, ia menunjkkan memberikan nafkah kepada isteri hukumnya adalah wajib. Sehingga di dalam mencari nafkah, seseorang tidak boleh bermalas-malasan dan tidak boleh bergantung hidupnya kepada orang lain serta tidak boleh meminta-minta kepada orang lain untuk memberikan nafkah kepada isteri dan anaknya. Sebagai ketua rumah tangga, seorang suami harus memiliki usaha dan bekerja dengan bersungguh-sungguh sesuai dengan kemampuannya.

Perbuatan meminta-minta menurut Islam adalah perbuatan yang sangat hina dan tercela. Burung yang diciptakan oleh Allah ‘Azza wa Jalla tidak sesempurna manusia yang dilengkapi dengan kemampuan berfikir dan tenaga yang jauh lebih besar, tidak pernah meminta-minta dalam mencari makan dan memenuhi keperluannya. Dia terbang pada pagi hari dalam keadaan perutnya kosong, dan kembali ke sarangnya pada petang hari dengan perut yang telah kenyang. Demikianlah yang dilakukannya setiap hari, meskipun hanya berbekalkan sayap dan paruhnya.

Di dalam mencari rezeki, seseorang hendaklah berikhtiar (usaha) terlebih dahulu, kemudian bertawakkal (menggantungkan harapan) hanya kepada Allah, sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

“Ertinya : Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan bersungguh-sungguh, maka sungguh kalian akan diberikan rezeki oleh Allah sebagaimana Dia memberikan kepada burung. Pagi hari burung itu keluar dalam keadaan kosong perutnya, kemudian pulang di petang hari dalam keadaan kenyang.”[2]

Seorang suami juga harus mencari rezeki-rezeki yang halal dan thayyibah, untuk diberikan kepada isteri dan anaknya. Bukan dengan cara-cara yang tercela dan dilarang oleh syari’at Islam yang mulia. Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan menerima daripada sesuatu yang haram. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ertinya : Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada kaum mukminin seperti yang Dia perintahkan kepada para Rasul. Maka, Allah berfirman: ’Hai Rasul-Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shalih.” (Al-Mukminuun : 51).

Dan Allah Ta’ala berfirman.

“Ertinya : Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian.” (Al-Baqarah : 172).

Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan orang yang lama bermusafir; rambutnya kusut; berdebu, dan menadahkan kedua tangannya ke langit, ‘Yaa Rabb-ku, yaa Rabb-ku,’ padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi kecukupan dengan yang haram, bagaimana do’anya akan dikabulkan?”[3]

Nafkah yang diberikan si suami kepada isterinya, lebih besar nilainya di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dibandingkan dengan harta yang diinfaqkan (meskipun) di jalan Allah ‘Azza wa Jalla atau diinfaqkan kepada orang miskin atau untuk memerdekakan seorang hamba.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ertinya : Wang yang engkau infaqkan di jalan Allah, wang yang engkau infaqkan untuk memerdekakan seorang hamba (budak), wang yang engkau infaqkan untuk orang miskin, dan wang yang engkau infaqkan untuk keluargamu, maka yang lebih besar ganjarannya adalah wang yang engkau infaqkan kepada keluargamu.”[4]

Setiap yang dinafkahkan oleh seorang suami kepada isterinya akan diberikan ganjaran oleh Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

“Ertinya : …Dan sesungguhnya, tidaklah engkau menafkahkan sesuatu dengan niat untuk mencari wajah Allah, melainkan engkau diberi pahala dengannya sehinggakan apa yang engkau berikan ke mulut isterimu akan mendapat ganjaran.”[5]

Seorang suami yang tidak memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya, maka dia berdosa. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ertinya : Cukuplah seseorang dikatakan berdosa jika ia mensia-siakan orang yang wajib dia beri makan (nafkah).”[6]

(Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor – Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa’dah 1427H/Desember 2006)

Sumber http://almanhaj.or.id/. Diedit dan diterjemah oleh Abu Usamah


[1] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2142), Ibnu Majah (no. 1850), Ahmad (IV/447, V/3, 5), Ibnu Hibban (no. 1286, al-Mawaarid), al-Baihaqi (VII/295, 305, 466-467), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (IX/159-160), dan an-Nasa’i dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 289) dan dalam Tafsir an-Nasa’i (no. 124). Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim dan dipersetujui oleh adz-Dzahabi.

[2] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 2344), Ahmad (I/30), Ibnu Majah (no. 4164), at-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dishahihkan juga oleh al-Hakim (IV/318), dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu.

[3] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1015), at-Tirmidzi (no. 2989), Ahmad (II/328) dan ad-Darimi (II/300), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.

[4] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 995), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.

[5] Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 1295) dan Muslim (no. 1628), dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallaahu ‘anhu.

[6] Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 1692), dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallaahu ‘anhuma. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Sunan Abi Dawud (V/376, no. 1485)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan